Puisi-Puisi Terbaik Lahir dari Lomba Wija To Luwu 2025, Orisinalitas Jadi Sorotan

waktu baca 3 menit
Jumat, 28 Feb 2025 14:08 0 1164 Redaksi

Pemenang Telah Ditetapkan Tim Juri, Sejumlah Naskah Didiskualifikasi

 

MAKASSAR – Lomba Cipta Puisi Wija To Luwu (WTL) 2025 yang digelar dalam rangka Semarak Hari Perlawanan Rakyat Luwu (HPRL) ke-79 dan Hari Ulang Tahun (HUT) KKLR ke-69 resmi berakhir.

Sebanyak 23 karya puisi telah diterima panitia dan dinilai oleh tim juri yang terdiri atas tiga orang berpengalaman di bidang sastra dan seni. Setelah melalui proses seleksi, enam karya dinyatakan sebagai pemenang.

Namun, dalam proses penilaian, panitia menemukan 10 naskah yang terbukti dibuat menggunakan kecerdasan buatan (ChatGPT).

“Kami mengutamakan orisinalitas dan kreativitas peserta. Sayangnya, ada 10 naskah yang harus didiskualifikasi karena terbukti dibuat dengan kecerdasan buatan. Kami telah mengonfirmasi hal ini kepada peserta yang bersangkutan,” ujar Koordinator Lomba Cipta Puisi WTL 2025, Ifan Pupuh Pratama, Jumat (28/2/2025).

Dikutip dari website sulsel.kklr.org, berdasarkan hasil penjurian, Novelliny Arishta Mutya, yang akrab disapa Evelyn, berhasil meraih Juara 1 dengan puisinya berjudul Tana Luwu, Nyala Tak Pernah Redup. Evelyn merupakan mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Negeri Makassar.

Sementara itu, Juara 2 diraih oleh Laode Muhammad Affan, mahasiswa semester 4 di Universitas Halu Oleo, dengan puisinya berjudul Darah Bumi Batara Guru.

Posisi ketiga ditempati oleh Hassah Glen Fadly Toding, mahasiswa semester 7 di Universitas Negeri Makassar, dengan puisinya yang berjudul Epik Wija To Luwu.

Tiga peserta lainnya mendapatkan penghargaan sebagai juara harapan, yakni Iin Kurnia dengan puisi Januari Bersejarah di Bumi Sawerigading, Agung dengan Ombak Gelora, Api di Bumi Luwu Raya, serta Afdol Rusli dengan karyanya berjudul Tanah Luwu.

Sebagai bentuk apresiasi, panitia akan memberikan penghargaan kepada para pemenang berupa uang tunai dan sertifikat. Selain itu, sejumlah puisi yang berhasil lolos hingga tahap akhir penjurian akan diterbitkan dalam buku kumpulan esai dan puisi berjudul “LUWU RAYA, Spirit Bangsa Pejuang.”

Lomba ini melibatkan tiga juri yang merupakan tokoh sastra dan seni asal Luwu. Dewi Hastuty Sjarief, seorang penyair, pekerja seni, dan aktivis perempuan di Makassar, dikenal dengan karya-karyanya seperti 9 Pengakuan; Seuntai Kidung Mahila (2011), Wasiat Cinta (2013), serta puisinya yang diterbitkan di berbagai platform sastra.

Juri kedua, Sinar Mentari, merupakan presenter TV dan penulis novel Delapan Detik Setelah Senja (2018) serta Catatan Akhir Jahaliah (2018). Ia juga pernah meraih Juara 1 Lomba Cipta Baca Puisi tingkat Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2013.

Sementara itu, juri ketiga, Rismayanti, yang dikenal dengan nama pena Risya Marennu, adalah seorang pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Ia aktif dalam komunitas sastra seperti Puan Seni dan KM10 School serta telah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Lipstik yang Berdarah (2022).

Ifan Pupuh Pratama menegaskan bahwa lomba ini bukan sekadar ajang kompetisi, tetapi juga wadah untuk menumbuhkan kecintaan terhadap sastra dan sejarah Luwu.

“Lomba ini bukan hanya tentang memenangkan hadiah, tetapi juga bagaimana kita merawat semangat budaya dan perjuangan Wija To Luwu melalui karya sastra,” katanya.

Ia juga berharap ajang ini dapat terus berlanjut di tahun-tahun mendatang dengan lebih banyak peserta yang berpartisipasi secara aktif.

“Kami sangat mengapresiasi semangat peserta yang telah mengirimkan karya terbaiknya. Ini menunjukkan bahwa sastra masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat Luwu. Semoga lomba ini bisa menjadi inspirasi bagi generasi mendatang untuk terus berkarya,” pungkas Ifan.

Dengan berakhirnya lomba ini, panitia optimistis bahwa semangat literasi dan budaya di Luwu Raya akan semakin berkembang di masa mendatang. (*)