MALILI – Ratusan warga yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Luwu Timur (AMLT) menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Luwu Timur, Kawasan Puncak Indah Malili, Senin (20/10/2025).
Massa menuntut kejelasan pengelolaan lahan pertanian di tengah ekspansi industri nikel, sekaligus memprotes kebijakan anggaran daerah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil.
Dalam aksi tersebut, para demonstran membentangkan spanduk dan berorasi menyoroti ketimpangan kebijakan Pemkab Luwu Timur.
Seorang orator bahkan mengutip Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi dan penajaman alokasi anggaran.
Ia menilai, Pemkab Luwu Timur justru lebih fokus pada proyek-proyek nonprioritas ketimbang sektor yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat.
“Rumah jabatan bupati yang masih sangat layak saja direnovasi lagi dengan anggaran ratusan juta, sementara sektor pertanian dan pendidikan justru terpinggirkan,” ujar orator aksi dalam orasinya.
Protes Meluas ke Kebijakan Lahan Industri
Aksi di depan gedung DPRD itu tidak hanya menyoal anggaran daerah, tetapi juga kebijakan pengelolaan lahan yang disebut semakin dikuasai oleh korporasi besar.
Warga mendesak Pemkab Luwu Timur agar menjamin hak-hak petani di tengah maraknya investasi industri nikel yang terus meluas di kawasan Malili dan sekitarnya.
Menanggapi aksi tersebut, DPRD Luwu Timur langsung menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama perwakilan massa.
Anggota DPRD Luwu Timur, Badawi Alwi, mengonfirmasi bahwa rapat tersebut menghasilkan dua poin kesepakatan utama.
Pertama, DPRD akan melakukan pengawasan dan rapat kerja menyeluruh terkait pemanfaatan lahan kompensasi dari PT Vale ke Pemkab Luwu Timur, serta alih kelola dari Pemkab ke PT Indonesia Huali Industry Park (IHIP).
Dewan juga akan meninjau status keberadaan masyarakat dalam kawasan seluas 394 hektare di Desa Harapan, Kecamatan Malili.
Kedua, DPRD akan menindaklanjuti aspirasi delapan kelompok petani sawit di Desa Kasintuwu yang telah diverifikasi Kementerian Pertanian, khususnya terkait fasilitas sarana dan prasarana pertanian.
Sewa Lahan Murah, Warga Curigai Ada Keganjilan
Gelombang protes warga juga dipicu oleh kebijakan Pemkab Luwu Timur yang dinilai tidak transparan dalam penyewaan lahan industri kepada PT IHIP.
Berdasarkan data yang terungkap, Pemkab hanya menetapkan tarif sewa Rp226 per meter persegi per tahun, atau sekitar Rp4,45 miliar untuk jangka waktu lima tahun atas lahan seluas 394,5 hektare di Desa Harapan.
Padahal, tarif itu sangat jauh di bawah harga sewa lahan warga di wilayah yang sama. Sebagai perbandingan, lahan berukuran 25×25 meter di kawasan tersebut disewa operator telekomunikasi dengan tarif Rp80 juta untuk 20 tahun, atau sekitar Rp6.400 per meter persegi per tahun.
“Kalau dibandingkan, jelas jomplang sekali. Kami curiga ada sesuatu yang tidak wajar dalam MoU Pemkab Lutim dengan PT IHIP,” tegas Zakkir Mallakani, perwakilan pemuda Lampia.
Warga lainnya, Ibrahim, menuntut pemerintah daerah menjelaskan proses penetapan harga sewa secara terbuka, mulai dari penyerahan lahan kompensasi dari PT Vale hingga kesepakatan kerja sama dengan PT IHIP.
Potensi Triliunan Rupiah, Sewa Murah Jadi Tanda Tanya
Direktur The Sawerigading Institute, Asri Tadda, turut menyoroti kebijakan tersebut. Ia menyebut keputusan Pemkab Luwu Timur berisiko merugikan daerah dalam jangka panjang karena menyangkut pengelolaan aset strategis bernilai tinggi.
Menurut Asri, satu jalur smelter nikel saja bisa menghasilkan laba antara Rp1,5 hingga Rp2 triliun per tahun, jauh dibandingkan dengan nilai sewa lahan yang hanya ratusan juta rupiah per tahun.
“Agak miris melihat aset daerah disewakan begitu murah kepada investor besar. Ini menyangkut masa depan masyarakat Luwu Timur. DPRD seharusnya berani memanggil Bupati untuk menjelaskan dasar penetapan harga sewa yang tidak masuk akal itu,” ujarnya.
Ia juga menilai kebijakan Pemkab yang memprioritaskan PT IHIP yang sudah memiliki izin PKKPR seluas 570 hektare di wilayah berbeda sebagai mitra utama.
Sementara perusahaan lokal seperti PT Kawasan Industri Terpadu Luwu Timur (KITLT) justru kehilangan izin tanpa dialog, menunjukkan ketidakberpihakan terhadap pengusaha daerah.
Desakan Transparansi dan Evaluasi Kebijakan
Gelombang kritik yang datang dari warga, aktivis, hingga lembaga pemantau kebijakan menandakan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap arah pembangunan kawasan industri di Luwu Timur.
Masyarakat menuntut transparansi penuh dalam pengelolaan lahan kompensasi dan berharap DPRD menjalankan fungsi pengawasan secara tegas agar kepentingan publik tidak dikorbankan demi kepentingan investor besar.
“Kami hanya ingin keadilan dan keterbukaan. Jangan sampai masyarakat lokal hanya jadi penonton di tanah sendiri,” tutup seorang peserta aksi. (*)