MAKASSAR — Dari tepian Luwu yang tenang, lahirlah sosok yang kini menjadi kebanggaan dunia akademik Indonesia.
Prof. Dr. Thamrin Abduh, S.E., M.Si., resmi menyandang gelar Guru Besar dalam bidang Ilmu Ekonomi Pembangunan — sebuah pencapaian yang menegaskan kiprah dan dedikasinya selama lebih dari tiga dekade mengabdi di dunia pendidikan.
Pria kelahiran Bonepute, Kabupaten Luwu, 19 September 1964 ini adalah Wija To Luwu, putra daerah yang meniti jalan panjang dari kampung halaman menuju ruang-ruang akademik yang penuh tantangan.
Kini, setelah puluhan tahun berkarya, namanya terpatri sebagai salah satu akademisi berpengaruh di bidang ekonomi pembangunan, ekspor UMKM, dan industri kreatif.
Thamrin kecil menempuh pendidikan dasar dan menengah di Siwa, Kabupaten Wajo, sebelum melanjutkan studi ke SMA di Makassar. Sejak muda, ia dikenal tekun dan haus ilmu.

Setelah menamatkan S1 Ekonomi Pembangunan di Universitas 45 Makassar, ia tak berhenti menuntut ilmu. Ia meraih gelar Magister Agribisnis di Universitas Hasanuddin, dan kemudian gelar Doktor Pendidikan Ekonomi di Universitas Negeri Makassar.
“Ilmu adalah cahaya yang tidak boleh padam, karena dari situ manusia bisa menyalakan kehidupan orang lain,” demikian prinsip yang ia pegang sejak awal kariernya sebagai dosen muda.
Perlahan tapi pasti, karier akademiknya menanjak. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Dekan, Dekan, hingga Wakil Rektor Universitas 45 Makassar, tempat ia mengabdikan sebagian besar hidupnya.
Dedikasinya pada kampus dan mahasiswa menjadi bukti nyata bagaimana seorang putra daerah bisa memberikan kontribusi nasional dari ruang-ruang kelas.
Prof. Thamrin bukan hanya pengajar di balik meja. Ia juga peneliti dan pegiat pemberdayaan masyarakat. Karya-karyanya meliputi 54 artikel ilmiah, 17 buku, dan 11 hak cipta (HKI) yang fokus pada isu pemberdayaan ekonomi lokal.
Melalui risetnya, ia berupaya menjembatani dunia akademik dengan realitas masyarakat — dari pemberdayaan petani jamur tiram di Maros, pengrajin rumput laut di Takalar, hingga pengusaha minyak cengkeh di Wajo.
“Ilmu ekonomi tidak boleh berhenti di jurnal atau buku. Ia harus hidup di tangan masyarakat,” ujarnya dalam salah satu seminar nasional.
Kepakarannya dalam strategi ekspor UMKM dan industri kreatif menjadikannya salah satu akademisi yang sering dijadikan rujukan dalam berbagai forum ilmiah, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Dalam perjalanannya, Prof. Thamrin telah menerima penghargaan Satyalancana Karya Satya dari tiga presiden berbeda — bukti pengabdian panjangnya di dunia pendidikan.
Ia juga dikenal sebagai figur yang menjunjung tinggi integritas, baik dalam akademik maupun aktivitas sosial.
Selain aktif di kampus, ia juga berperan di berbagai organisasi seperti ISEI, ICMI, dan Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Di lingkungan tempat tinggalnya, ia dipercaya sebagai Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Jannatul Firdaus Telkomas, menjadikan kiprahnya tak hanya ilmiah, tapi juga spiritual.
Bagi Prof. Thamrin, menjadi akademisi adalah panggilan untuk berbuat baik. “Yang kita kelola bukan hanya ilmu, tapi juga kepercayaan. Integritas itu bukan pilihan, tapi kewajiban,” katanya. (*)